Di ambil dari kisah nyata berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri selama menjadi seorang programmer.

Kisah penuh drama dan pilu ini dimulai dari kecintaan saya dalam dunia teknologi, semua terlihat hebat dan keren jika ada campur tangan teknologi di dalamnya. Seperti halnya dalam film Iron Man, dia dapat membuat sebuah baju robot yang sangat canggih disertai asisten nya yang bernama Jarvis yang dapat diajaknya ngobrol dan melakukan tugas lainnya yang diperintahkan. 


Dalam filmnya Iron Man yang diperankan oleh aktor Robert Downey JR sebagai Tony Stark, adalah seorang yang memiliki ketertarikan pada mesin, dikisahkan Tony Stark seorang yang sangat cerdas dan lulus di Universitas MIT dengan jurusan Teknik Mesin.

Mengikuti jejak ayahnya yang seorang ilmuan juga, Tony Stark tumbuh menjadi seorang ilmuan yang kaya raya, dia mencipatakan berbagai macam jenis persenjataan untuk perang yang dia buat sendiri di Stark Industries yaitu perusahaan yang di buat oleh ayahnya, tapi bukan hal itu yang membuat saya tertarik sekali dengan film ini melaikan pada penemuan baju robotnya sehingga dia dijuluki Iron Man.
Dalam film Iron Man Tony Stark mengalami banyak kegagalan dalam membuat baju robotnya sampai akhirnya dia dapat membuat model baju robot yang bermacam-macam. Terlihat keren bukan.
Dalam film ini kita dapat ambil pelajaran kesuksesan tidak dapat diraih dengan mudah tanpa adanya keyakinan dan kerja keras.

Semenjak nonton film Iron Man ini saya jadi kecanduan dalam dunia teknologi dan akhirnya semenjak lulus SMA saya melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan Teknik Informatika, singkat cerita saya pun mulai menikmati jurusan yang saya ambil ini.

Beberapa semester mulai terlewati, saya mulai sedikit paham cara membuat sebuah software kecil-kecilan dan dari situ otak saya mulai bekerja dan mengeluarkan ide-ide dalam kepala saya, terfikirlah untuk memulai membuat sebuah startup waktu itu, memang terdengar sinting baru tau tentang IT aja udah mikirnya ketinggian, ya maklum mumpung masih muda perbanyak gagal biar tua gak penasaran.

Mulailah saya dan teman-teman saya membuat startup yang kami beri nama Bisa Ngaji yang bertujuan memperluas dakwah seorang ustadz atau ustadzah, melalui aplikasi yang kami bangun ini bermanfaat dalam tujuan berdakwah sehingga dakwah yang disampaikan oleh seorang ustadz bisa sampai ke penjuru dunia.

Kami pun mulai membuat aplikasi tersebut, karena terhalang dana waktu itu akhirnya kita hosting aplikasinya di hostingan gratisan, akhirnya aplikasi kami pun jalan dan kami pun mulai mencari investor kecil-kecilan, padahal waktu itu kami belum ada pengetahuan sampe sana tapi akhirnya kami bersama teman-teman memberanikan diri dan ternyata ada orang yang tertarik dengan ide kami ini.

Tidak tau kenapa kami merasa waktu itu belum percaya diri untuk hosting ke yang berbayar dan selalu berfikir ini belum waktunya, karena tim saya selalu berfikir untuk menjadi sempurna baru kita bicara publikasi secara nyata, disini kami pun saling mementingkan ego kita masing-masing ada yang tujuannya duit ada yang tujuannya amal ada yang tujuannya popularitas dan macam-macam dan mereka seakan melupakan tujuan awal dari project tersebut, akhirnya kejadian yang tak di duga pun muncul. Website dengan nama dan konten yang hampir mirip pun muncul, akhirnya kita salah-salahan.

Dari sini saya sangat mengambil pelajaran, semua orang memiliki ide dan cita-cita yang besar tapi mereka befikir kalau ide dan cita-cita besarnya itu ingin terlihat sempurna dan selalu berfikir nanti dulu ini belum oke,nanti dulu gimana kalau orang lain gak suka, nanti dulu kayanya ini gak akan bagus deh di masyarakat, nanti dulu, nanti dulu dan nanti dulu. Terkadang mereka lupa jika yang pertama itu yang terbaik.

Mungkin jika Mark zuckerberg, Steve jobs, Bill gates, Larry page berfikir nanti dulu mungkin bukan nama mereka yang akan kita kenal di dunia teknologi.

Setelah kejadian itu saya sudah mengubur mimpi dalam-dalam soal berkarya di dunia teknologi dan tujuan saya pun berubah yaitu kerja.

Setelah lulus kuliah akhirnya saya pun dapat pekerjaan software house di Jakarta, mulai dari sini lah saya tau menjadi seorang programmer itu tidak seindah yang kita bayangkan.